Anak
adalah harapan di masa yang akan datang. Kalimat ini seringkali kita dengar dan
amat lengket di benak kita. Tak ada yang memungkiri ucapan itu, karena memang
ia sebuah kenyataan bukan hanya sekedar ungkapan perumpamaan, benar-benar
terjadi bukan sebatas khayalan belaka. Karenanya sudah semestinya memberikan
perhatian khusus dalam hal mendidiknya sehingga kelak mereka menjadi para
pengaman dan pelopor masa depan umat Islam.
Lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak adalah keluarganya sebagai lembaga pendidikan yang paling dominan secara mutlak lalu kemudian kedua orangtuanya dengan sifat-sifat yang lebih khusus. Sesungguhnya anak itu adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Di saat hatinya masih bersih, putih, sebening kaca jika dibiasakan dengan kebaikan dan diajari hal itu maka ia pun akan tumbuh menjadi seorang yang baik, bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika dibiasakan dengan kejelekan dan hal-hal yang buruk serta ditelantarkan bagaikan binatang, maka akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur. Kerugian mana yang lebih besar yang akan dipikul kedua orangtua dan umat umumnya apabila meremehkan pendidikan anak-anaknya. Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya." Maka Allah subhanahu wa ta'ala mengingatkan kita dengan firmanNya, "Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS At Tahrim: 6). Berkata Amirul Mukminin Ali radhiyallahu 'anhu, "Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam adalah pemimpin akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab, dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dipinta pertanggungjawabannya." (HR Bukhori dan Muslim dari sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu 'anhu). Dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta'ala akan mempertanyakan pada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya ataukah menyia-nyiakannya? Hingga seseorang akan bertanya kepada keluarganya." (HR Ibnu Hibban, Ibnu Ady dalam Al Kamil, dan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah dan dishohihkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath 13/113). Demikian pula dalam Shohih Bukhori dan Muslim, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu." Sikap adil dan kasih sayang terhadap anak adalah dengan mengajari mereka kebaikan, para orangtua menjadikan dirinya sebagai madrasah bagi mereka.
Lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak adalah keluarganya sebagai lembaga pendidikan yang paling dominan secara mutlak lalu kemudian kedua orangtuanya dengan sifat-sifat yang lebih khusus. Sesungguhnya anak itu adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Di saat hatinya masih bersih, putih, sebening kaca jika dibiasakan dengan kebaikan dan diajari hal itu maka ia pun akan tumbuh menjadi seorang yang baik, bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika dibiasakan dengan kejelekan dan hal-hal yang buruk serta ditelantarkan bagaikan binatang, maka akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur. Kerugian mana yang lebih besar yang akan dipikul kedua orangtua dan umat umumnya apabila meremehkan pendidikan anak-anaknya. Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya." Maka Allah subhanahu wa ta'ala mengingatkan kita dengan firmanNya, "Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS At Tahrim: 6). Berkata Amirul Mukminin Ali radhiyallahu 'anhu, "Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam adalah pemimpin akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab, dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dipinta pertanggungjawabannya." (HR Bukhori dan Muslim dari sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu 'anhu). Dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta'ala akan mempertanyakan pada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya ataukah menyia-nyiakannya? Hingga seseorang akan bertanya kepada keluarganya." (HR Ibnu Hibban, Ibnu Ady dalam Al Kamil, dan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah dan dishohihkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath 13/113). Demikian pula dalam Shohih Bukhori dan Muslim, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu." Sikap adil dan kasih sayang terhadap anak adalah dengan mengajari mereka kebaikan, para orangtua menjadikan dirinya sebagai madrasah bagi mereka.
Keluarga,
terlebih khusus kedua orangtua dan siapa saja yang menduduki kedudukan mereka
adalah unsur-unsur yang paling berpengaruh penting dalam membangun sebuah
lingkungan yang mempengaruhi kepribadian sang anak dan menanamkan tekad yang
kuat dalam hatinya sejak usia dini. Seperti Zubair bin Awam misalnya. Ia adalah
salah seorang dari pasukan berkudanya Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
yang dinyatakan oleh Umar ibnul Khattab, "Satu orang Zubair menandingi
seribu orang laki-laki." Ia seorang pemuda yang kokoh aqidahnya, terpuji
akhlaqnya, tumbuh di bawah binaan ibunya Shofiyah binti Abdul Mutholib, bibinya
Rosulullah dan saudara perempuannya Hamzah. Ali bin Abi Tholib sejak kecil
menemani Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan dipilih menjadi
menantunya. Ia tumbuh sebagai seorang pemuda sosok teladan bagi para pemuda
seusianya di bawah didikan ibunya Fathimah binti Asad dan yang menjadi
mertuanya Khodijah binti Khuwailid. Begitu pula dengan Abdullah bin Ja'far,
seorang bangsawan Arab yang terkenal kebaikannya, di bawah bimbingan ibunya
Asma binti Umais. Orangtua mana yang tidak gembira jika anaknya tumbuh seperti
Umar ibnu Abdul Aziz. Pada usianya yang masih kecil ia menangis, kemudian
ibunya bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?" Ia menjawab,
"Aku ingat mati." - waktu itu ia telah menghafal Al Qur'an - ibunya
pun menangis mendengar penuturannya. Berkat didikan dan penjagaan ibunya yang
sholihah Sufyan Ats Tsauri menjadi ulama besar, amirul mukminin dalam hal hadits.
Saat ia masih kecil ibunya berkata padanya, "Carilah ilmu, aku akan
memenuhi kebutuhanmu dengan hasil tenunanku." Subhanallah! Anak-anak kita
rindu akan ucapan dan kasih sayang seorang ibu yang seperti ini, seorang ibu
yang pandangannya jauh ke depan. Seorang ibu yang super arif dan bijaksana.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- lihatlah bagaimana para pendahulu kita yang sholih, mereka mengerahkan segala usaha dan waktunya dalam rangka mentarbiyah anak-anaknya yang kelak menjadi penentu baik buruknya masa depan umat. Jangan sampai seorang pun di antara kita berprasangka mencontoh para pendahulu yang sholih adalah berarti kembali ke belakang, kembali ke zaman baheula (istilah orang Sunda). Di saat orang-orang berlomba-lomba meraih gengsi modernisasi, ketahuilah bahwa mencontoh sebaik-baik umat yang dikeluarkan ke tengah-tengah manusia adalah berarti satu kemajuan yang pesat, teknologi canggih dalam membangun aqidah yang benar, memperbaiki moral yang bejat serta membendung semaraknya free children, sehingga menghantarkan kepada apa yang telah diraih oleh generasi yang mulia yang tiada tandingannya. Meniti jalannya mereka dalam rangka mentarbiyah / mendidik anak berarti tengah mempersiapkan konsep perbaikan umat di masa yang akan datang, dimana tidak akan pernah menjadi baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi umat pertama. Allah berfirman, "Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu, maka apakah kamu tiada memahaminya." (QS Al Anbiyaa: 10).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- lihatlah bagaimana para pendahulu kita yang sholih, mereka mengerahkan segala usaha dan waktunya dalam rangka mentarbiyah anak-anaknya yang kelak menjadi penentu baik buruknya masa depan umat. Jangan sampai seorang pun di antara kita berprasangka mencontoh para pendahulu yang sholih adalah berarti kembali ke belakang, kembali ke zaman baheula (istilah orang Sunda). Di saat orang-orang berlomba-lomba meraih gengsi modernisasi, ketahuilah bahwa mencontoh sebaik-baik umat yang dikeluarkan ke tengah-tengah manusia adalah berarti satu kemajuan yang pesat, teknologi canggih dalam membangun aqidah yang benar, memperbaiki moral yang bejat serta membendung semaraknya free children, sehingga menghantarkan kepada apa yang telah diraih oleh generasi yang mulia yang tiada tandingannya. Meniti jalannya mereka dalam rangka mentarbiyah / mendidik anak berarti tengah mempersiapkan konsep perbaikan umat di masa yang akan datang, dimana tidak akan pernah menjadi baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi umat pertama. Allah berfirman, "Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu, maka apakah kamu tiada memahaminya." (QS Al Anbiyaa: 10).
Perhatian
serius dan tarbiyah yang benar kini sangatlah dibutuhkan di zaman yang dipenuhi
berbagai fitnah, fitnah syahwat dan syubhat yang terus memburu anak-anak kita
dari segala arah dihembuskan oleh da'i-da'i sesat yang berada di pintu-pintu
neraka jahanam. Allah berfirman, "... sedang orang-orang yang mengikuti
hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari
kebenaran)." (QS An Nisaa: 27). Benarlah apa yang dikatakan dalam sebuah
syair:
Siapa menggembala kambing di tempat rawan binatang bua
Siapa menggembala kambing di tempat rawan binatang bua
Kemudian
lalai darinya, singa akan merebut gembalaannya.
Para
pembaca -semoga dirahmati Allah- Islam sebagai agama yang universal tentu
tidaklah mengesampingkan tarbiyah anak, bahkan tarbiyah anak adalah sorotan
utama dalam Islam sebab Islam adalah agama tarbiyah. Dengan posisi tarbiyah
anak yang demikian pentingnya, maka Allah subhanahu wa ta'ala mengabadikan
wasiat Luqman, seorang hamba yang sholih, kepada anaknya sebagai acuan bagi
para murobbi / pendidik, begitu pula dengan sosok pribadi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam sebagai seorang rosul sekaligus menjadi imam para murobbi
dunia. Perhatian dan kecintaannya terhadap anak-anak sangatlah tinggi, terlihat
saat beliau mengajari Ibnu Abbas di usianya yang muda belia sehingga tampillah
Ibnu Abbas menjadi sosok pemuda yang berilmu, bertaqwa, dan memiliki keberanian
yang luar biasa. Salah satu bentuk kasih sayangnya terhadap anak, beliau selalu
mencium anak-anak bila berjumpa, sebagaimana dalam Shohih Bukhori dari sahabat Abu
Hurairoh, ia berkata, "Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium
Hasan ...", juga diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shohihnya dari
sahabat Aisyah radliyallahu 'anha berkata, "Seorang badui datang menemui
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: Kalian selalu menciumi
anak-anak, sedangkan kami tidak pernah menciuminya." Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam berkata, "Kami menginginkan agar Allah mencabut kasih
sayang dari hatimu.", tidak ada bahan pengajaran yang paling baik dan
sempurna kecuali yang bersumber dari kitab dan sunnah, karena disitulah adanya
ilmu yang mencakup segala bidang, seperti ungkapan Imam Syafi'i:
Ilmu
itu adalah ucapan Allah dan ucapan rosulNya
Sedang
selain dari itu adalah bisikan-bisikan syaithon.
Alangkah
baik bila penulis uraikan beberapa langkah dasar dalam mendidik anak yang disarikan
dari Al Kitab dan Sunnah.
Pertama:
mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepadaNya,
menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selainNya, tidak ada yang
ditakutinya kecuali Allah. Ini pendidikan yang paling urgen di atas hal-hal
penting lainnya.
Kedua:
mengajari mereka sholat dan membiasakannya berjama'ah.
Ketiga:
mengajari mereka agar pandai bersyukur kepada Allah, kepada kedua orangtua, dan
kepada orang lain.
Keempat:
mendidik mereka agar taat kepada kedua orangtua dalam hal yang bukan maksiat,
setelah ketaatan kepada Allah dan rosulNya yang mutlak.
Kelima:
menumbuhkan pada diri mereka sikap muroqobah merasa selalu diawasi Allah. Tidak
meremehkan kemaksiatan sekecil apapun dan tidak merendahkan kebaikan walau
sedikit.
Keenam:
memberitahu mereka akan wajibnya mengikuti sabilul mukminin al muwahhidin
(jalannya mukminin yang bertauhid), salafush sholih generasi terbaik umat ini,
dan memberikan loyalitas kepada mereka
Ketujuh:
mengarahkan mereka akan pentingnya ilmu Al Kitab dan Sunnah.
Kedelapan:
menanamkan pada jiwa mereka sikap tawadlu, rendah hati, dan rujulah serta
syaja'ah (kejantanan dan keberanian). Dan masih banyak lagi selain apa yang
penulis uraikan di sini.
Semoga
Allah menganugerahkan kepada kita anak-anak yang sholih. Amin ya Mujiibas
sailiin. Allah berfirman, "Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa."
(QS Al Furqoon: 74).
Para
pembaca -semoga dirahmati Allah- begitulah memang seharusnya pendidikan anak
ini menjadi kewajiban nomor satu bagi para orangtua, menelantarkannya berarti
menelantarkan amanat dan kepercayaan Allah, membiarkannya adalah berarti
membiarkan kehancuran anak, orangtuanya, umat, bangsa, dan negara. Sedangkan
mendidiknya adalah cahaya masa depan umat yang cerah yang berarti juga
mengangkat derajat sang anak dan derajat kedua orangtuanya di surga. Rosulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Akan diangkat derajat seorang
hamba yang sholih di surga. Lalu ia akan bertanya-tanya: Wahai Rabb apa yang
membuatku begini?" Kemudian dikatakan padanya, "Permohonan ampun
anakmu untukmu." (HR Ahmad dari sahabat Abu Hurairoh). Allah subhanahu wa
ta'ala berfirman, "Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,
dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS Ath Thuur: 21). Allah-lah yang
memberi taufiq kepada apa yang dicintaiNya dan diridloiNya.
Walhamdulillahi
robbil 'alamin. Wal Ilmu indallah.
Berbicara
saat Khotib Jum'at Berdo'a
Sebagian
para fuqoha (ahli fiqh) -semoga Allah merahmati mereka- mengatakan,
"Apabila imam -yakni khotib- memulai berdoa saat khutbah maka
diperbolehkan berbicara, sebab do'a bukanlah termasuk ke dalam rukun khutbah,
sedangkan berbicara pada selain rukun-rukun khutbah diperbolehkan." Tetapi
ini pendapat yang lemah, karena sesungguhnya selama do'a tersambung dengan
khutbah maka ia bagian khutbah itu sendiri. Telah ada dari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bahwa beliau memohon ampunan bagi orang-orang yang beriman
pada setiap Jum'at saat berkhutbah.
Maka yang benar adalah selama khotib / imam berkhutbah baik itu saat berkaitan dengan rukun-rukun khutbah atau setelahnya, berbicara saat itu hukumnya haram.
Maka yang benar adalah selama khotib / imam berkhutbah baik itu saat berkaitan dengan rukun-rukun khutbah atau setelahnya, berbicara saat itu hukumnya haram.
(Lihat
Syarhul Mumthi alaa Zadil Mustaqna' 5 / 143-144).
Ditulis
oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar